Senin, 27 Oktober 2014

Renungan

"Marilah Ke Tempat Yang Sunyi"

(Keseimbangan dan Penyegaran)

Markus 6 : 30-32 ; 45-46




"Jeda Kehidupan" atau istirahat, adalah konsep yang diperkenalkan Tuhan sendiri. Sejak dalam proses penciptaan, dalam tradisi pertanian di Israel, bahkan sampai dalam konsep Hari Sabat, "jeda" menjadi suatu fase yang penting justru untuk kelangsungan kehidupan itu sendiri. Jeda menjadi masa untuk beristirahat; memberi kesempatan pada tubuh, hewan, tanah, untuk memulihkan dan menyegarkan diri; dan bahkan sebagai masa sunyi untuk menciptakan intimasi dengan Tuhan. Sebagaimana gergaji perlu berhenti bekerja dan diasah untuk menjaga ketajamannya, begitu pun dengan kehidupan.

Para murid setelah melakukan suatu tugas pengutusan yang berat (Markus 6 : 6b-13 ; 30), Tuhan Yesus memandang perlu bagi mereka untuk beristirahat. Walaupun pada akhirnya istirahat mereka harus tertunda sebab orang banyak mengikuti mereka (ayat 33). Sekali lagi Tuhan Yesus dan murid-murid melayani mereka untuk beristirahat dengan bertolak ke tempat lain, dan menyuruh orang banyak itu pulang (ayat 45). Yesus sendiri menyingkirkan diri ke sebuah bukit untuk berdoa, menjalin keintiman dengan Allah.

Ketegasan Yesus ini menunjukkan betapa pentingnya "jeda kehidupan", suatu fase istirahat yang akan memberikan kesegaran baru, pemulihan tenaga, keseimbangan diri, waktu untuk instrospeksi, waktu untuk belajar, membangun intimasi dengan Tuhan, dan bahkan menyusun rencana yang lebih konstruktif bagi kehidupan. Orang yang tidak pernah menikmati atau mengusahakan waktu istirahat, justru akan menuai banyak persoalan, sebab kejenuhan.

(Insisari Kotbah Ibadah Minggu, 26 Oktober 2014, Pdm. Andi Oktavian Santoso, M.Div.)

Minggu, 19 Oktober 2014

Renungan

Diciptakan Untuk Pekerjaan Baik

( Efesus 2 : 10; Mazmur 139 : 13-16)



Mazmur 139 : 13-16 menuturkan bahwa manusia adalah ciptaan yang khusus. Dengan teliti Allah memberikan kemampuan dan keistimewaan agar manusia bisa mencapai yang terbaik dalam kehidupannya. Lebih jauh dalam Efesus 2 : 10 ditegaskan bahwa manusia diciptakan untuk melakukan pekerjaan Allah, yang telah disiapkan, dirancangkan sebelumnya. Manusia tidak diciptakan untuk sekedar hidup bagi dirinya, tetapi bagi Allah. Sebab itu dalam perjalanan hidup kaum beriman, narasi utama hidupnya adalah untuk memenuhi tugas Allah. "Jika aku hidup maka itu artinya hidup bagi Allah, bukan bagi diriku sendiri." Oleh sebab itu patut disesalkan jika kemudian dalam hidupnya manusia hanya sibuk mengejar kepentingan pribadinya, atau bahkan hal-hal yang sia-sia.

Beberapa langkah untuk memenuhi tujuan Allah :
1. Menemukan tujuan Allah dengan mengenali potensi diri kita.
2. Mengoptimalkan segenap potensi diri untuk Allah, melalui komunitas dan gerejaNya (menyerap/belajar).
3. Lakukan tugas panggilan hidup dengan kesungguhan, komitmen, dan secara berkesinambungan (memberi/menyebarkan).
4. Ukuran keberhasilan kita bukan hasil, tetapi pada proses yang dilandasi kesadaran dan ketulusan untuk maksimal. Kata orang "Do the best and God will do the rest"

Dalam tataran ini maka pencapaian hidup bukan sekedar berhasil mengarahkan diri pada posisi terhormat dalam masyarakat, tetapi bagaimana hidup kita mencerminkan kemuliaan Allah dalam segala manfaat dan kebaikanNya.
Sebab itu, jika manusia menyia-nyiakan hidupnya, maka sebenarnya ia bukan hanya merusak hidupnya sendiri, tetapi juga merusak tujuan mulia Allah dalam dirinya.
( Intisari Kotbah Ibadah Minggu 19 Oktober 2014, Pdt. Wara Adiati Retno Widuri, M.Min.)

Minggu, 12 Oktober 2014

Pemberkatan Nikah


Pemberkatan Nikah atas diri

Sdr. VICKY SETIAWAN
(Warga Jemaat GKMI Pati, putra (Alm.) Bp. Setiyono Rachmat dan Ibu Misih Ningsih)

dengan

Sdri. SIENNY SIAUL
(Warga Jemaat Gereja Mawar Sharon Surabaya, putri Bp. Collis Siaul dan Ibu Henny Tandra)

Pemberkatan Nikah telah dilaksanakan
Jumat, 10 Oktober 2014,
pk. 17.00 WIB, di GKMI Pati,
dilayani oleh Pdt. Michael Salim, M.Th.


Paduan Suara Komisi Wanita "DORKAS" GKMI Pati dalam acara pemberkatan nikah
http://youtu.be/hva1r-zghXU


Segenap Hamba Tuhan, Majelis Jemaat, dan Jemaat GKMI Pati mengucapkan "Selamat Menempuh Hidup Baru, Tuhan Yesus Memberkati Mempelai Berdua"

Rabu, 08 Oktober 2014



“TANAH LIAT DITANGAN-NYA”
Yeremia 18:1-6

            Tentu kita pernah mendengar ungkapan nasi sudah menjadi bubur? Ungkapan ini melambangkan sesuatu yang kalau sudah terlanjur rusak tidak dapat diperbaiki. Tetapi betulkah demikian? Kalau sudah menjadi bubur tidak bisa diapa-apakan lagi? Tentu tidak! bagi orang yang optimis, akan berkata: dengan sedikit usaha, buburpun bisa enak. Tambahkan saja kuah, kecap, suwiran ayam, daun bawang, kalau ada irisan ca kue, dan sambal.... pasti bisa dinikmati.... bubur ayam yang enak....
            Bagi yang optimis tidak ada yang fatal-fatal amat, selalu ada peluang untuk perbaikan; sebagaimana tertulis: “Apabila bejana yang sedang dibuatnya dari tanah liat ditangannya itu rusak, maka tukang periuk itu, mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya”(4). Pesan Firman ini simpel saja: ada peluang perbaikan. Ada peluang untuk diubah lebih baik. Bahwa sebesar apapun kesalahan kita, sekacau apapun hidup kita, bahkan seberapa parah kita merusak diri kita selalu ada peluang perbaikan, perubahan, perombakkan. TETAPI, catatan pentingnya : perubahan, perbaikkan, perombakan, apapun itu, TIDAK akan terjadi jika kita melupakan satu hal, justru yang menjadi kata kunci dari keseluruhan proses ini:  yaitu DITANGANNYA. Artinya, hanya di tangan Tuhan Sang Tukang Periuk, apa yang rusak dapat dibetulkan. Sebagus apapun kualitas tanah liat, ia tidak akan mampu membentuk dirinya sendiri apalagi memperbaiki dirinya sendiri. Ia selalu memerlukan tangan Sang Tukang . 

Lebih jauh, kita akan melihat teks ini dalam kerangka pembentukan spiritualitas. Bagaimana melalui gambaran yang di dapat Yeremia ini, spiritualitas tidak dimaknai sebagai kata benda yang mati, mandeg. Tetapi sebagai kata sifat yang dapat ditingkatkan levelnya. Jadi spiritulitas memiliki tingkatan tingkatan, anak anak tangga yang semakin tinggi.
Dan KARENA ITU, bagi kita umat beriman, hidup adalah perjalanan untuk menapaki tingkatan demi tingkatan itu. Terus bertumbuh dalam kehidupan sebagai makhluk spiritual, bukan sekedar makhluk duniawi. Pertumbuhan inilah yang digambarkan seperti tanah liat, yang dibentuk, diproses, untuk menjadi sesuatu yang indah oleh Sang Seniman Yang Agung yaitu Tuhan sendiri.  itulah pertumbuhan spiritualitas.  
            Sebelum lebih jauh baik kita melihat sekilas apa itu spiritualitas? Spiritualitas tidak bisa disamakan begitu saja dengan hukum agama, atau keyakinan iman. Spiritualitas mencakup keyakinan iman dan praksis; di mana keyakinan iman dan praksisnya itu telah membentuk sebuah sistem dalam diri seseorang untuk dapat berpikir, merasakan, memutuskan, bicara, bersikap, bertindak, berbuat, yang membangun kehidupannya sendiri, sesamanya ataupun lingkungannya. Seperti otomatis. Contohnya,   ketika sesorang berbuat baik, dan kebaikannya itu terjadi atas dorongan kesadaran, bukan karena takut hukuman atau supaya dapat pahala, maka orang itu dikatakan mempunyai spiritualitas. Contoh lain, jika seseorang berdoa bukan sekedar meminta sesutu pada Tuhan, tetapi karena ia sadar untuk menjaga keintiman dengan Tuhan, itu artinya ia punya spiritualitas. Jika seseorang dapat berbuat jujur, sekalipun kesempatan untuk curang ada di depan matanya, bukan karena takut hukuman, tetapi karena jujur adalah kesadarannya, maka itu adalah spiritualitas. Ketika iman dan praksis itu telah menjadi sistem kesadaran dalam diri seseorang, sehingga tanpa berpikir, tanpa harus diawasi, ditakut takuti, atau diming imingi hadiah, ia melakukan sesuatu yang positif, itu berarti spiritualitas. Ia tidak berpikir atau bicara, tentang Tuhan dan ajaranNya, tetapi Tuhan dan ajarannya ada di dalam dirinya, hidupnya, dalam karyanya, dalam setiap aspek hidupnya, itulah spiritualitas.  Maka biarkan tangan Tuhan Sang Tukang Periuk itu  mengintervensi hidup kita. turut campur, bekerja, mengolah diri kita.

Bagaimana proses ini dapat berjalan dengan baik?

1.  Sebagai tanah liat miliki kejujuran untuk menilai diri apa adanya. Kekurangan, keterbatasan, kelemahan, keberdosaan, bukan sesuatu yang ditutupi atau disangkal dihadapan Tuhan, tetapi harus DIAKUI  (4a). Salah satu penghambat proses pertumbuhan spiritual adalah: merasa diri sudah baik, tidak ada yang perlu diperbaiki. bukankah penghukuman dalam kehidupan bangsa Israel terjadi karena mereka tidak menyadari/ mengakui dosanya? Langkah ini tidak mudah, malah menyakitkan, sebab kita akan diajak untuk melihat seberapa dalamnya kekurangan dan kelemahan kita sendiri. // jika kepada dokter kita tidak jujur dengan keluhan kesehatan kita bagaimana dokter membuat diagnosa yang tepat? Di hadapan Tuhan tidak perlu sok kuat, sok gagah, sok bisa, sok pintar, sehingga malah jadi bumerang bagi kita sendiri.  
    
2.   Sebagai tanah liat miliki kerendahan hati  untuk dibentuk ulang. Banyak orang merasa diri sudah sempurna, bahkan bejana yang bocor dan retak pun sering tidak merasa rusak. Kerendahan hati menjadi pintu pertama dari kesediaan untuk dibentuk kembali menurut apa yang baik dalam pemandangan Tuhan (8). Artinya rendah hati untuk menerima kehendak dan tujuan Tuhan yang menentukan apa dan bagaimananya kita ke depan (12). Orang yang rendah hati tahu bahwa hidupnya bukan miliknya sendiri, ia tidak berdaulat atasnya, tetapi Tuhan yang berdaulat. Karena itu selalu mencari kehendakNya, jangan hanya kehendak diri kita sendiri saja. 

3.     Siap dibentuk ulang artinya siap ditambah dan dikurangi atau bahkan dirombak, menjadi sama sekali baru. Dalam proses ini ada kalanya kita harus merasakan sakitnya membuang kebiasan lama, bersusah payah membentuk pola hidup baru, atau dibawa ke titik nol, dan kemudian tumbuh sesuai kehendakNya (11b). Banyak orang dalam hidupnya seperti dibawa berputar ke padang gurun. Banyak yang dihentikan, dibelokkan, di lempar ke bawah, di bawa ke tempat tempat yang sukar, ternyata ia sedang dibentuk ulang. Banyak yang tidak tahu, sehingga tidak tahan, mengeluh, memprotes, bahkan meninggalkan Tuhan. sayang...ia tidak pernah melihat hasilnya. Tetapi yang tahan... akan melihat bagaimana bejana baru yang dihasilkannya lebih indah, lebih kuat, lebih manfaat. Sebab ia dibanting lebih kuat dari yang lain, diputar lebih kencang, dipukul lebih banyak, dibakar dua kali lebih panas, dijemur lebih lama.....  

Inilah 3 langkah awal dalam rangka membangun spiritualitas diri kita.  Jadikan diri kita tanah liat di tanganNya. Siap untuk bertumbuh? Tuhan memberkati. (Pdt. Michael Salim)